(Catatan Atas Respon Sang Penguasa)
Oleh: Dr. Wendy Melfa
Provinsi Lampung~FN–News~Dinamika pilkada di Lampung terbilang berjalan normal. Masih berskala hangat kuku, di mana parpol pemilik kursi pada lembaga legislatif sesuai tingkatannya, juga para calon kepala daerah/wakil kepala daerah (cakada) masih pada tataran komunikasi politik, pendalaman komunikasi, menyinkronkan visi parpol dan cakada dan lainnya. Yang mengarah pada akhir proses komunikasi tersebut pada terpenuhinya syarat minimal 20 prosen perolehan kursi DPRD atau lebih, mengkombinasikan pasangan cakada, yang muaranya pada terbangunnya formasi koalisi pengusung pasangan cakada untuk mengikuti kontestasi pilkada pada provinsi, kabupaten, dan kota.
Suasana adem dan kondusif ini mulai “ditarik” pada situasi sedikit hangat, dengan adanya sejumlah pertanyaan kawan-kawan partai; apa dan siapa yang dimaksud diksi “kecuali yang membelot dari saya”.
Diksi tersebut tersaji dari sebuah pemberitaan salah satu media online, yang diluncurkan dari kata-kata Sang Penguasa, menjawab pertanyaan kawan media pada saat usai mengikuti fit and proper test pada salah satu parpol tingkat provinsi di Lampung, yang dalam proses penjaringan cakada menggunakan mekanisme fit and proper test pada minggu (19/5/2024) lalu.
Atas berbagai pertanyaan kawan partai itu jugalah, yang menyebabkan penulis mencari tahu berita online-nya secara utuh tersaji, dan membuat tulisan ini.
Arti diksi membelot (Inggris: defected) yang merupakan kata kerja, menurut KBBI adalah: lari (dari pihaknya, golongannya, kaumnya) lalu memihak kepada musuh, dalam pengertian lain, membelot dipahami sebagai: meninggalkan suatu negara, partai politik, dll, terutama untuk bergabung dengan lawan.
Apakah pernyataan Sang Penguasa itu pararel dengan pengertian tersebut atau bukan, saya sebagaimana kawan partai kebanyakan, tidak terlalu pusing dengan paham Sang Penguasa, yang memang agak terbatas literasinya, tetapi tulisan ini firm dengan pengertian KBBI tersebut, dan memahami sekaligus mencocokkan kalimat Sang Penguasa dengan pemahaman umum sebagaimana yang tertuang pada KBBI.
Juga tulisan ini sehari setelah penayangan berita online tersebut, karena kami masih menunggu jikalau ada ralat atau penjelasan lebih jauh dari pernyataan sebagaimana tertuang pada berita dimaksud, dan ternyata tidak ada.
*Gejala dan Apa Adanya.
Tersebutlah salah satu partai politik di Lampung tempat bernaung dan berkiprah politiknya Sang Penguasa yang perolehan hasil pemilu legislatifnya biasa-biasa saja, hanya bertambah satu kursi DPRD Provinsi, dan ini kategori datar saja bila dibandingkan dengan perolehan hasil pileg pada provinsi lainnya, khususnya se-Sumatera.
Padahal, nahkoda partai itu provinsi lainnya bukanlah dipimpin oleh Sang Penguasa, di sini terkonfirmasi akan kinerja partai tersebut. Berdasarkan cerita kawan-kawan partai yang lainnya, konsolidasi internal bahkan “persiapan” logistik menghadapi Pemilu 2024 lalu terbilang minim, kalau tidak mau disebut seadanya, hanya mengandalkan profesional dan ketangguhan kader-kader partai dalam memasuki pertempuran pemilu legislatif.
Sang Penguasa justru berlindung dibalik diksi bahwa dirinya harus adil terhadap semua partai politik, tidak hanya mengkampanyekan salah satu parpol. Seakan lupa kalau dirinya pimpinan parpol tertentu, seolah ‘menghalalkan’ dirinya tidak maksimal benar-benar berjuang untuk partainya. Padahal, kawan-kawan aktivis satu partainya mengharapkan diri Sang Penguasa sebagai ‘icon’ perjuangan, harapan itupun pupus.
Puncaknya, ‘ketidak berpihakan’ secara total Sang Penguasa akan kemenangan partainya pada pemilu, hanya menghasilkan perolehan kursi di pusat yang tidak bertambah, bahkan sang “perdana menteri” harus tersingkir, tidak mendapatkan kursi.
Begitupun dalam menghadapi pilkada, Sang Penguasa alih-alih memperjuangkan kader partainya sendiri untuk dikuatkan maju sebagai calonkada, ia dengan “gaya”-nya sendiri justru “meng-endorse” kerabatnya yang bukan kader satu partai dengan Sang Penguasa.
Alih-alih berkeringat untuk kerja-kerja partai, padahal kantor pusat partainya Sang Penguasa sudah menerbitkan surat tugas kepada kader tulen dari internal partai sendiri, dan kerabat Penguasa tersebut jelas-jelas tidak tercantum namanya pada surat tugas yang berasal dari kantor pusat partai.
Tidak bekerja maksimal untuk partai dalam pemilu padahal dirinya mampu dan kuasa berbuat, tidak membela kader partainya sendiri dalam dalam agenda-agenda resmi partai (pilkada), tidak mematuhi dan mengindahkan surat tugas partai dari kantor pusatnya, justru malah sibuk meng-endorse kerabatnya.
Ini jelas jika kita padankan dengan pengertian KBBI di atas, Sang Penguasa-lah yang membelot. Akankah kita ikuti langkah politik Sang Penguasa yang dapat dikategorikan sebagai pembelot?
Tentu kader partainya secara kompak berkata “tidak” seperti paduan suara. Karena doktrin dari partai itu menyebutkan “karya kekaryaan” bukan “kerabat kekerabatan”. Itulah juga sebab adanya banyak pengurus partai tersebut yang secara terbuka tidak hadir dan mendampingi Sang Penguasa pada saat mengikuti tahapan penjaringan di partai-partai lainnya.
Justru hadir dan mendampingi calon lainnya yang bukan Sang Penguasa. “Tidak akan ada asap kalau tidak ada api”, demikian pepatah lama mengatakan.
Yang lebih dahsyat lagi, ini berkaitan dengan fairnes dan penggunaan uang rakyat, walaupun belum (tidak) dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, namun penggunaan anggaran dan program APBD dalam kegiatan-kegiatan, termasuk juga pemberian bantuan-bantuan kepada masyarakat yang bersumber pada APBD, tetapi didalamnya “diikutkan” juga “pencitraan diri” Sang Penguasa yang akan mencalonkan diri sebagai calon penguasa berikutnya, jelas-jelas pelanggaran prinsip fairnes sesama calon kepala daerah.
Dan ini juga dapat dikategorikan “membelotkan” anggaran rakyat untuk pencitraan diri Sang Penguasa yang tidak lama lagi kekuasaannya akan berakhir.
Publik akan memahami dan memaklumi, bahwa pernyataan Sang Penguasa tentang “membelot” kepada dirinya adalah hal yang wajar dan lumrah, karena memang pantas Sang Penguasa itu tidak diikuti oleh kader partainya sendiri. Itupun kalo Sang Penguasa bertahan dengan persepsinya tentang “membelot” yang dimaksud, atau justru Sang Penguasa-lah yang nyata-nyata dinyatakan “membelot” dari kewajiban dan keharusannya sebagai nahkoda sebuah partai, hingga dirinya tidak paham kalau ia telah “membelot”. Mungkin, karena dirinya sudah lelah.
Dari narasi tertuang di atas, diksi “membelot” yang dilontarkan dari mulut Sang Penguasa, ternyata kisah nyata dan bukan hanya wacana, walaupun dipahami pada akhirnya diksi itu justru untuk mengidentifikasi dirinya sendiri: Sang Penguasa.
Sebagai aktivis, pejuang, dan kader partai, kita berharap dan optimis tentu kita akan berjuang terus sampai keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bukankah kita harus menjadi orang yang beruntung; yaitu orang yang hari ini dan esok harus lebih baik dari hari kemarin, dan yakinlah bahwa atas seizin Tuhan Yang Kuasa, esok pagi akan selalu terbit matahari, semoga. *Penulis: Direktur Badan Saksi Nasional DPP PG Wilayah Lampung.