Membangun Ruang Publik, Kenapa Tidak?

By Admin
Kamis, 6 Juni 2024 | 76 Views
Array

 

Oleh : Gunawan Handoko

Bandar Lampung~FNNews~Gagasan untuk membangun ruang terbuka hijau (RTH) dengan melakukan revitalisasi lapangan Merah Enggal dan Pasar Seni di Kota Bandar Lampung, pupus sudah. Di masa lalu, lahan seluas 15 ribu meter persegi yang sempat dilakukan revitalisasi dengan membangun taman, lapangan olahraga multi fungsi untuk basket dan futsal, lapangan skateboard, mushola, dan taman untuk manula. 

Namanya pun cukup keren, yakni “Enggal Elephant Park” atau lebih dikenal dengan sebutan Taman Gajah. Dalam dokumen perencanaan, tahap selanjutnya akan dilengkapi dengan bangunan kids park, yakni ruang terbuka dan bermain bagi anak-anak yang menyatu dengan alam. Selain itu, akan ada daycare dan PAUD sebagai tempat tumbuh kembang anak-anak yang dilengkapi dengan fasilitas bermain dan ruang edukasi yang dapat menjadi percontohan.

Terakhir, akan dibangun air mancur dan mini theater sebagai arena aktualisasi pertunjukan kesenian dan arena pertunjukan air. Sangat disayangkan, rencana tersebut batal terwujud. Bahkan bangunan yang sudah ada dan menelan uang rakyat miliaran rupiah harus dimusnahkan karena lahan tersebut dialih fungsi untuk dibangun masjid raya. 

Bahkan, gedung olah raga (GOR) Saburai yang menyimpan sejarah dan kenangan itu pun, ikut menjadi korban. Padahal, jika gagasan Gubernur Lampung era Ridho Ficardo tersebut diwujudkan, diyakini dapat menjadi landmark atau ikon baru di Kota Bandar Lampung, sekaligus sebagai ruang interaksi sosial antar masyarakat untuk menyatu dengan alam. 

Apalagi, sampai saat ini Kota Bandar Lampung sebagai ibukota provinsi Lampung belum memiliki ikon yang jelas; apakah akan menjadi kota pendidikan, kota pariwisata, perdagangan atau menjadi kota yang penuh dengan tumbuhan beton dan kaca. Sementara, keberadaan RTH semakin berkurang dari luasan yang dipersyaratkan oleh undang-undang (UU) yakni 20 persen dari luas wilayah yang ada. 

Pembangunan yang ada di Kota Bandar Lampung lebih terkesan ke arah agung adiluhung dan meninggalkan wawasan lingkungan. Masyarakat kota kesulitan untuk sekadar mendapatkan ruang publik sebagai tempat untuk berinteraksi sosial, tempat bertemu, berdagang, dan berlalu lintas.

Terkait ruang publik, Jan Gehl membuat klasifikasi kota menjadi empat kategori. Pertama: adalah kota tradisional yang fungsi ruang publiknya masih melekat dan terfasilitasi dengan baik. Ini bisa ditemui di kota-kota kecil, di mana penetrasi kendaraan bermotor tidak terlalu besar.

Kedua: adalah invaded city di mana satu fungsi (biasanya fungsi lalu lintas pribadi) mengambil sebagian besar porsi lahan yang tersedia, sehingga tidak ada lagi ruang untuk fungsi yang lain, termasuk untuk pejalan kaki. Penduduk di kota ini tidak akan berjalan kaki karena keinginan, tetapi karena sebuah keterpaksaan.

Ketiga: adalah kota yang ditinggalkan, di mana ruang dan kehidupan publik telah hilang. Kota dirancang untuk kendaraan bermotor dan pada akhirnya membuat banyak aktivitas yang awalnya dilakukan dengan berjalan kaki, menjadi hilang. Di kota ini, kehidupan penduduknya hanya beredar dari satu shopping mall ke shopping centre yang lain dengan menggunakan kendaraan.

Keempat: adalah kota yang direbut kembali, di mana ada usaha yang kuat dari pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan bersama-sama masyarakat, untuk mengembalikan keseimbangan fungsi ruang publik. Disini akan ditemui program-program yang memberikan keleluasaan kepada pejalan kaki untuk saling berinteraksi satu sama lain, tanpa batasan status sosial dan perbedaan lainnya.

Dari keempat klasifikasi kota diatas, mungkin kita mulai berkhayal untuk menjadi warga yang hidup di kota keempat, yakni kota yang direbut kembali. Dengan menjadi warga kota tersebut, setidaknya kita akan mendapatkan ruang untuk berolah fisik seperti jogging track, pedestrian path, rimbunnya pepohonan, taman pintar, juga yang tidak kalah penting tersedianya perpustakaan umum. Di tempat ini anak-anak bukan hanya bebas berkreasi di taman bermain, namun juga bebas berburu buku bacaan. Bila saya tutup fasilitas perpustakaan dan Taman Pintar diatas dengan kalimat ’Gratis dan dibuka untuk Umum’, pasti masyarakat akan lebih bersorak sorai gembira.

Untuk mewujudkan Kota Bandar Lampung dengan klasifikasi tersebut, tentu tidak bisa hanya diputuskan oleh seorang Walikota saja, melainkan melibatkan banyak ahli, seperti unsur sosiolog, arsitek, psikolog, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, dan pemuka agama untuk diminta dan didengar pendapatnya. 

Berdirinya banyak mall dan pusat perbelanjaan tidak bisa menggantikan fungsi ruang publik yang dibutuhkan masyarakat kota untuk berinteraksi sosial. Interaksi sosial sebagai kunci dari semua kehidupan sosial, sebab tanpa interaksi tidak mungkin ada kehidupan bersama. Dalam interaksi akan terlihat hubungan untuk tukar menukar pengetahuan berdasarkan take and give. Kontak sosial juga dapat bersifat primer atau sekunder. Primer adalah di mana individu dapat terlibat dan bertemu langsung atau face to face. 

Ruang publik adalah salah satu bentuk dari tempat untuk interaksi sosial primer yang alami bagi masyarakat kota. Dikatakan alami, karena warga akan saling bertemu di jogging track, perpustakaan, maupun taman bermain yang kesemuanya itu dibuka untuk umum. 

Mari sejenak kita bandingkan, bila kita hidup di kota dengan klasifikasi ketiga, maka secara perlahan atau pasti, kita akan menciptakan ruang publik buatan yang tersebar di mall, restoran, maupun café. Belum lagi, kita harus ekstra hati-hati mengendarai kendaraan dikarenakan banyak anak-anak bermain di sekitar jalan raya (karena mereka tidak memiliki tempat atau lapangan bermain). Dari dua contoh interaksi sosial tersebut tentu kita bisa membandingkan, mana yang lebih ideal dan lebih sehat secara psikologis, serta mana yang jauh lebih positif bagi perkembangan generasi kedepan. Jika kita adalah orang tua, lebih merasa tenang mana; melepas anak kita sehari-hari dalam lingkungan konsumtif dan hingar bingar kapitalisme, atau melepas anak kita dalam lingkungan perpustakaan dan menyaksikan mereka berolahraga di ruang publik?

Jika Anda adalah seorang anak atau remaja, tanyakan pada diri sendiri, di mana akan menghabiskan sebagian besar aktivitas kehidupan? Menjadi generasi produktif untuk kemajuan umat manusia, atau menjadi generasi penikmat dari kesenangan yang semu. 

Setiap kali menjelang pemilihan Walikota Bandar Lampung, kita selalu mendengar kesamaan janji dan cita-cita para kandidat untuk membuat kota ini menjadi lebih baik. Salah satunya dengan menjadikan Bandar Lampung sebagai kota pendidikan dan ramah lingkungan sebagaimana yang telah menjadi visi dan misi Walikota Bandar Lampung terdahulu. Maka seharusnya, yang.kita lakukan bersama adalah menciptakan kondisi yang saling mendukung untuk mewujudkannya.

Bila kita dengan rendah hati mau berkaca dengan Kota Jogjakarta (sebagai contoh), kita akan berdecak kagum sekaligus iri dengan tersedianya ruang publik yang sejauh mata memandang akan bertaburan dengan perpustakaan dan tempat masyarakat saling bertukar ilmu pengetahuan. Ruang publik berhasil meningkatkan aktivitas dan prestasi masyarakatnya dalam bidang literatur, seni, dan ilmu pengetahuan. 

Membandingkan Lampung dengan Jogjakarta memang tidak tepat, tapi paling tidak kita bisa melihat dan mencontoh komitmen dan kesadaran perangkat pemerintahan Daerah Istimewa Jogjakarta yang sangat memperhatikan dunia pendidikan dan tersedianya tempat berinteraksi bagi masyarakatnya. Intinya, program pendidikan yang diusung oleh pemimpin, hendaknya mampu dijabarkan secara teknis oleh lembaga pemerintah yang diberikan tanggungjawab tersebut, dan tidak sekadar visi misi belaka sehingga stagnan di pertengahan jalan. 

Program yang digagas oleh Ridho Ficardo sebagai Gubernur Lampung waktu itu, menjadi nampak jelas bahwa begitu tidak sepelenya keberadaan sebuah ruang publik sekaligus bentuk komitmen seorang pemimpin dalam membangun kota berwawasan lingkungan. Fitrah semua manusia mendambakan sebuah kehidupan yang lebih baik. Bukan hanya sekadar dapat hidup layak secara ekonomi, namun juga mendambakan kehidupan yang terdiri dari manusia-manusia sehat secara psikologis, yaitu manusia yang saling peduli, saling berempati, berprestasi, dan saling bahu membahu membangun peradaban yang lebih baik ditengah ritme kehidupan kota yang semakin rentan untuk memicu stress dan berbagai penyakit fisik maupun mental. 

Maka, selagi masalah kota ini hanya diserahkan mentah-mentah pada pemerintah daerah dan para pemilik modal/investor, maka jangan menyesal bila kota ini akan tumbuh menjadi hutan beton dan kaca. Adalah hak warga untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, juga kewajiban warga untuk peduli dan terus melibatkan diri dalam perkembangan kota ini, karena kota ini milik rakyat, bukan milik penguasa. Memang, awalnya pasti terasa sulit. Namun siapa bilang berjuang menuju perubahan itu mudah? *penulis: Ketua Harian Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) Provinsi Lampung.

Array

Berita Terkait

Tutup
Tutup