Menuju Politik Santun

By Admin
Rabu, 26 Juni 2024 | 29 Views
Array

Oleh : Gunawan Handoko

BandarLampung~FN-News~MENJELANG pemilu kepala daerah yang akan dilaksanakan secara serentak pada 27 November 2024 mendatang, khususnya di Provinsi Lampung, wajah para kandidat bakal calon gubernur, bupati maupun walikota dalam bentuk baleho, banner, dan poster telah menghiasi wilayah perkotaan hingga pelosok pedesaan.

Mirip seperti yang dilakukan media periklanan untuk memasarkan barang atau produk yang menjadi konsumsi masyarakat. Wajah para kandidat marak d imana-mana, bahkan volumenya mengalahkan wajah bintang iklan yang memasarkan barang atau produk tadi.

Bukan cuma sebatas itu, wajah para kandidat juga menempel di media apa saja yang dipandang efektif untuk mensosialisasikan diri, seperti korek api, air mineral, pamflet, spanduk bahkan, buku Surat Yassin. Hanya kitab suci Al-Qur’an dan Kitab Injil yang masih belum terjamah.

Meski jadwal pelaksanaannya masih sekitar 5 bulan lagi, namun suhu politik sudah mulai menghangat dengan munculnya calon kandidat gubernur, bupati, dan walikota. Ada yang masih malu-malu kucing, ada yang sebatas melakukan tes ombak, tapi ada yang dengan terang-terangan memproklamirkan diri sebagai bakal calon kepala daerah, meski hingga kini belum ada satu pun kandidat yang diusung secara resmi oleh partai politik. 

Pihak KPU sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan bakal calon pun, masih adem ayem, dan baru fokus melakukan kegiatan coktil (pencocokan dan penelitian) data pemilih.

Perlu disadari, bahwa pilkada bukan semata-mata hanya untuk memilih gubernur, bupati, atau walikota beserta wakilnya, namun juga harus mampu memberikan pendidikan berpolitik dan berdemokrasi bagi masyarakat.

Sekadar untuk sosialisasi, sah-sah saja, namun jika disertai dengan memberikan sesuatu dengan pamrih untuk menarik simpati rakyat, sungguh hal tersebut akan menghambat proses pendidikan politik dan demokrasi. Kita harus belajar banyak dari pelaksanaan pemilu presiden dan pemilu legislatif yang baru saja berlangsung. Banyak kandidat calon anggota legislatif yang kecele dan merasa telah dibohongi, karena perolehan suara yang diraih tidak sesuai dengan ’kesepakatan’ saat kampanye.

Rakyat kita sudah semakin cerdas dan berpikir rasional. Mereka tidak bisa lagi dicekoki dengan janji-janji muluk atau diiming-imingi dengan bantuan sembako. Rakyat butuh sesuatu yang pasti disertai bukti konkret. Rakyat juga tidak bisa lagi dipengaruhi oleh tampilnya tokoh-tokoh agama, seperti kiai dan ulama, agar memilih calon tertentu.

Kunci utama untuk merebut hati rakyat adalah adanya sikap yang jelas dari kandidat dan keperpihakannya terhadap rakyat, bisa dibuktikan. Hal yang tidak kalah penting adalah perilaku berpolitik yang santun, tidak saling menjelekkan, termasuk merusak dan menghilangkan atribut milik lawan. 

Jauh sebelum kehidupan politik seperti sekarang ini, Socrates telah mengajarkan kepada kita, bahwa politik adalah kesantunan. Politik adalah martabat dan harga diri, sehingga dalam berpolitik, seseorang harus memiliki keutamaan moral. 

Dalam tataran praksis, politik adalah ilmu dan seni yang berorientasi pada upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Jika kepentingan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraannya terabaikan, maka sesungguhnya hal ini telah menodai politik itu sendiri.

Perilaku santun adalah keniscayaan yang seharusnya menjadi sandaran tingkah laku dalam berpolitik. Sebab, dalam politik perbedaan adalah hal yang lumrah. Maka, jika memaknai perbedaan tanpa memahami makna kandungan aplikasinya, justru akan menimbulkan konflik. 

Segala bentuk perbedaan akan menciptakan sebuah kebersamaan manakala kesantunan menjadi landasan pijak atau pondasi dalam bersikap, bertutur kata, dan bertingkah laku. Moralitas dan kesantunan akan menuntun seseorang untuk menghargai perbedaan pendapat, membimbing seseorang pada sebuah komitmen atau kesepakatan, sehingga perbedaan menjadi benih untuk mewujudkan kebersamaan.

Memang, pada kenyataannya yang selalu abadi dalam berpolitik adalah kepentingan. Artinya, selama kepentingannya sama, maka kelanggengan dapat terjaga. Meski terkadang, kita tidak sadar bahwa kepentingan yang dilanggengkan itu melanggar nurani atau menabrak rambu-rambu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Maka sekali lagi, para kandidat –termasuk tim pemenangan- harus mampu menunjukkan sikap dan perilaku yang bisa dijadikan teladan dengan mengedepankan moral. Masyarakat hanya akan menaruh simpati dan rasa kagum kepada calon pemimpin yang bersikap santun, rendah hati, dan andap asor, ketimbang calon pemimpin yang selalu mengumbar janji dan menepuk dada bahwa dirinyalah yang terbaik. 

Akibat perilaku politik yang adigang adigung dan adiguna, maka yang mencuat ke permukaan adalah tampilan negatif yang terus mengendap di memori masyarakat. Politik santun dan bermoral semestinya telah menjadi bagian dinamika kehidupan perpolitikan di seluruh Indonesia yang di masa lalu sudah dikenal sebagai bangsa ke-Timur-annya. 

Politik santun dan kesantunan berpolitik bukanlah sekadar wacana. Semua bisa diwujudkan dan tidak terlalu sulit untuk mewujudkannya. Modalnya hanya sebuah dorongan dan tekad yang bulat untuk mempraktikkan politik yang bermoral dan santun dalam bingkai kesungguhan hati, kejernihan berpikir serta keberanian untuk memulai. Bila ini dilakukan maka tontonan yang disajikan para politisi kita akan berisi tuntunan yang menjadi referensi masyarakat.

Selamat berkompetisi dengan ksatria, menang secara bermartabat, dan kalah pun tetap terhormat. *Penulis: Aktivis LSM PUSKAP Wilayah Lampung

Array

Berita Terkait

Tutup
Tutup