OLOK–OLOK KARENA G*BLOK (MAAF)

By Admin
Kamis, 5 Desember 2024 | 26 Views
Array

Oleh : Dr. Wendy Melfa

*Naik Turunnya Derajat (Kehinaan)

Provinsi Lampung~FNNews|Tersebutlah kisah pedagang minuman es teh keliling yang sekejap mendapatkan kemuliaan di dunia berupa rasa simpati dan dukungan moral dari banyak masyarakat, tawaran sumbangan uang, bahkan ada yang menawarkan menunaikan ibadan umroh. Begitulah cara Allah SWT memuliakan pedagang es teh keliling dengan cara yang tidak disangka-sangka dan diduga manusia, boleh jadi oleh pedangan es teh keliling itu sendiri, sesaat setelah dia mendapatkan olok-olok dengan kata g*oblok dan diikuti tertawaan orang banyak. Bisa jadi, melalui peristiwa olok-olok yang cenderung menghinakan derajat pedagang es teh, justru Allah meninggikan derajatnya, karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatunya.

Al-Khafid merupakan satu diantara nama Allah menurut agama Islam, yang bermakna; Allah mempunyai kuasa untuk merendahkan siapapun yang Dia kehendaki. Sifat Al-Khafid mengajarkan kepada kita untuk tidak membanggakan secara berlebihan atas prestasi atau status sosial manusia di dunia ini. Harus diyakini bahwa semua yang kita punya di dunia ini, baik saat kaya maupun miskin sekalipun, adalah ujian dari Allah, yang kita sebagai manusia tidak pernah tahu kapan Allah akan meninggikan atau merendahkan derajat (kehinaan) kita. 

Seseorang yang sedang berada di atas “panggung” yang mengeluarkan olok-olok dengan kata g*oblok justru mendapatkan cibiran, cemoohan yang viral, bahkan “teguran” dari atasannya, bisa jadi hal itu pertanda Allah SWT menurunkan derajat (kehinaan) pada dirinya. Padahal yang bersangkutan orang yang dianggap berilmu, sekaligus juga sebagai pejabat negara, hingga membuat dirinya harus meminta maaf secara terbuka, juga kepada pedagang es teh keliling. Allah Maha Kuasa, manusia tidak kuasa.

*Dilanggarnya Norma

Olok-olok dengan kata g*blok diikuti tertawaan di hadapan muka umum, dapat dipahami sebagai ketidakpatuhan seseorang dari norma agamanya, juga norma hukum (Pancasila sebagai norma hukum tertinggi) yang bisa jadi diawali dari ketidakpahaman, lalu berujung pada aksi olok-olok dengan kata g*blok tersebut. 

Pertama berdasar pada perspektif agama Islam, dari dalil nas QS Al-Baqarah : 30-34 yang menceritakan tentang iblis dengan kesombongannya dan tidak punya adab, tidak taat pada perintah Allah hanya karena dirinya memiliki sebuah ilmu. Ini meyakinkan bahwa adab merupakan hal yang lebih penting dan lebih tinggi daripada ilmu. Orang yang memiliki ilmu tapi tidak disertai adab, maka hanya akan berujung pada kesombongan. 

Juga hal ini dinyatakan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik” (HR. Bukhari, Baihaqi, dan Hakim). Apakah karena merasa berilmu, lantas olok-olok kata g*blok begitu mudah keluar dari mulut seseorang yang merasa lebih tinggi derajatnya dari seorang pedagang es teh keliling di muka umum, dan mendapat tertawaan orang banyak, jelas ini sesuatu yang tidak menjaga adab. 

Selain itu, menurut pepatah Islam, disebutkan bahwa “adab itu lebih tinggi daripada ilmu”. Dari alur dalil nas Qur’an, Hadits, dan norma sosial Islam, tergambarkan pentingnya menjaga adab.

Norma hukum dimana Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum yang juga merupakan pandangan hidup berbangsa dan bernegara, juga terdapat pengaturan tentang kesamaan atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa membedakan suku, agama, status sosial. Bilamana masih ada yang berpandangan adanya perbedaan apalagi didasari status sosialnya, maka dapat dipahami dirinya tidak memahami norma hukum yang terkandung dari isi butir Sila dari Pancaila : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, terlebih bila yang melakukan olok-olok dengan kata g*blok di hadapan umum tersebut terbilang sebagai pejabat negara, sesuatu yang memprihatinkan (pelanggaran prinsip equality before the law dalam arti luas).

Menghadirkan olok-olok di hadapan publik dengan kata g*blok yang ditujukan kepada seorang pedagang es teh keliling yang sedang menjajakan dagangannya, kemudian mendapatkan tertawaan orang banyak, hal ini menggambarkan suasana sub ordinat (atasan-bawahan), bukan hanya secara phisik karena yang mengolok-olok seakan berada pada tempat yang mulia (di atas panggung dengan pengeras suara), sementara yang lainnya berada pada khalayak berjalan mencari nafkah dengan menjajakan dagangannya, hanya bisa menjawab dan tersenyum ketika mendapatkan olok-olok dengan kata g*blok. 

Tetapi juga secara derajat (tingkatan) adanya perbedaan antara satu dengan lainnya (not equal) dalam satu kehidupan, dan ini jelas berbeda semangatnya dalam norma hukum yang menempatkan semua orang adalah sama (equal) di hadapan hukum, pun tidak mencerminkan keadilan sosial.

Merasa lebih mulia, lebih tinggi, lebih baik, lebih berilmu terhadap orang lain, yang ditujukan pada seorang pedagang es teh keliling adalah mentertentangkan status sosial seseorang satu dengan lainnya, apalagi pertentangan itu diwujudkan dalam bentuk olok-olok dengan kata g*blok di hadapan umum, bahkan menggunakan pengeras suara, dan mendapatkan tertawaan dari khalayak ramai, maka dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran norma sosial antara seseorang yang berada di atas panggung dengan menggunakan pengeras suara (pelaku), terhadap pedagang es teh keliling yang ada di khalayak ramai yang sedang menjajakan dagangannya (korban), apalagi mendapatkan tertawaan khalayak ramai. 

Dari objek pelanggaran sosial tersebut dengan kata yang tidak pantas berupa olok-olok dengan kata g*blok, yang dapat menyasar pada diri seorang pedagang es teh keliling, maupun pada pekerjaannya sebagai pedagang es teh keliling. Apalagi pelanggaran norma sosial itu dilakukan seseorang yang status sosialnya dianggap lebih baik, lebih tinggi, terlebih sebagai pejabat negara (pelaku) terhadap korbannya dengan menggunakan olok-olok kata g*blok, kata yang tidak pantas dinyatakan, terlebih di hadapan khalayak ramai.

*Sesungguhnya Siapa yang G*blok?

Apabila terstrukturisasikan sedemikian rupa dari peristiwa olok-olok dengan kata g*blok, telah terjadi pelanggaran norma agama, norma hukum, dan norma sosial dalam sudut pandang “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, lantas kita dapat memahami sesungguhnya yang lebih patut menyandang predikat kata g*blok itu (kalaupun boleh diungkapkan) seseorang yang berada di atas panggung dengan pengeras suara, atau si pedagang es teh keliling yang mencari nafkah menjajakan dagangannya?

Terlalu berlebihan apabila kritik sosial atas fenomena ini coba dibungkam dengan narasi seolah karena residu Pilpres dan atau Pilkada, atau karena fanatisme kelompok tertentu, apalagi bila diasumsikan “menyerang” sang tokoh olok-olok yang kita tahu juga ada pengikutnya. Ini adalah sebuah fenomena sosial yang menyeruak ke ruang publik melalui media sosial yang kemudian mendapatkan reaksi dari sebuah aksi berupa cibiran publik, dan sisi lainnya simpati dan dukungan publik atas fenomena sosial tersebut, bukankah dikatakan dalam QS Al-Baqarah 213 disebutkan: “…. Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan …”.

Fenomena ini sekaligus mengajarkan kepada kita tentang bagaimana memperlakukan orang lain di hadapan orang banyak, sesungguhnya adab itu penting, karena adab lebih tinggi dari ilmu, dan kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. *Penulis: Pemerhati Masalah Sosial pada Ruang Demokrasi (RuDem)

Array

Berita Terkait

Tutup
Tutup