Oleh : Dr. Wendy Melfa
*Konversi Angka-Angka
Prov. Lampung~FN–News~Angka partisipasi pemilih pada Pilkada Lampung (Provinsi/Kabupaten/Kota) tahun 2024 hanya berkisar 65,39 % dan menjadi titik terendah partisipasi pemilih di Lampung dibandingkan dengan pemilu/ pilkada sebelumnya, dan angka ini meleset jauh dari capaian target partisipasi versi KPU dengan 8,2 % dan Pemerintah Provinsi Lampung dengan angka 7,9 %, padahal untuk membiayai Pilkada se Lampung, Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota telah merogoh kocek APBD se-Lampung yang notabene adalah uang rakyat sebesar Rp 763 M lebih.
Angka-angka tersebut telah mengkalkulasi dan menempatkan mahalnya nilai sebuah partisipasi pemilih Pilkada 2024 bila dibandingkan dengan harga beras rata-rata kebutuhan konsumsi masyakat (HET beras Bulog: 10.900 Rupiah sd 12.500 Rupiah per-Kilogram). Data ini kembali mengkonfirmasi akan mahalnya demokrasi dalam pilkada kita.
Dari gejala sosial politik yang menyertai tahapan pilkada khususnya di Lampung, terasa animonya nampak kurang “greget”, antusias, dan kesemarakan aura dari sebuah perhelatan (pesta) demokrasi yang sepatutnya, dan secara kuantitatif berujung pada angka partisipasi pemilih terendah dalam sejarah ke-pemilu-an kita. Gejala sosial tersebut setidaknya dapat diikuti dari minimnya calon peserta kontestasi pasangan calon (Lampung; kotak kosong (2), dua pasang calon (9/ 1 provinsi), tiga pasangan calon (2), empat pasang (2), dari pelaksanaan kampanye, termasuk debat kandidat juga terlihat datar dan biasa-biasa saja. Begitu juga pemasangan APK, kurang terlihat kemeriahannya. Beberapa indikator tersebut seolah memberikan signal akan puncak kurang antusiasnya pelaksanaan pilkada, dibuktıkan dengan angka partisipasi pemilih yang rendah.
*Partisipasi Pemilih = Legitimasi Politik
Partisipasi pemilih pada pemilu/pilkada berbanding lurus dengan legitimasi politik hasil pemilu. Tinggi rendahnya partisipasi selalu dihubungkan dengan tinggi dan rendahnya legitimasi politik hasil pilkada. Dalam konteks inilah KPU selaku pihak yang mempunyai otoritas penyelenggara pilkada berkepentingan untuk menyelenggarakan sebuah kontestasi demokrasi melalui pilkada dengan hasil yang mendapat legitimasi politik yang kokoh dari masyarakat dengan melihat tingkat partisipasi pemilih, dan pemerintah akan mendorong terciptanya keadaan tersebut dengan mengucurkan anggaran yang cukup besar.
Realitas politik pilkada saat ini, di Lampung tercatat mendapatkan partisipasi pemilih terendah sepanjang sejarah pilkada di Lampung, sementara pemerintah daerah sudah mengucurkan anggaran cukup besar.
Mencermati pelaksanaan pilkada serentak 2024 yang merupakan pilkada serentak nasional pertama dilaksanakan, tentu partisipasi pemilih yang rendah ini patut dievaluasi secara menyeluruh dalam tataran teknis, politis, maupun ketentuan yuridisnya, untuk bisa diperbaiki dan disempurnakan dalam pelaksanaan pilkada berikutnya;
1. Secara teknis, yang paling krusial misal adanya kebijakan pengurangan jumlah TPS dengan menambah jumlah mata pilih pada TPS yang semula 300 mata pilih, saat pilkada tercatat 500 – 600 mata pilih pada setiap TPS. Kebijakan ini menyebabkan jarak yang relatif jauh antara TPS dengan pemukiman penduduk, hal ini menyebabkan pemilih “malas” untuk datang ke TPS. Hal lain yang secara teknis mengemuka adalah tidak terdistribusikannya dengan baik surat undangan kepada pemilih, bahkan banyak diantaranya merasa tidak mendapatkan undangan/surat panggilan untuk memilih.
2. Alasan politis, kebijakan menempatkan pilkada serentak pada tahun yang sama dengan pileg dan pilpres patut untuk dievaluasi secara mendalam, karena bukan saja telah memforsir tenaga penyelenggara untuk menyelenggarakan tiga pemilu pada tahun yang sama dengan jarak yang relatif berdekatan, juga telah menyebabkan kejenuhan masyarakat akan pemilu. Apalagi isu dan energi politik terbesar sudah terserap pada pilpres dan pileg hingga berdampak pada menurunnya partisipasi masyarakat pemilih pada pilkada. Sebagai Jalan tengah, ada baiknya pemilu di Indonesia dibagi dalam dua tahapan, yaitu Pemilu Nasional untuk memilih Presiden/Wakil Presiden dan DPR/DPD, dan Pemilu Daerah untuk memilih Kepala/Wakil Kepala Daerah serta DPR Daerah yang pemilunya dilaksanakan berjarak dua tahun dengan Pemilu Nasional misalnya, sehingga isu dan energi pemilunyapun terbagi dalam segmen Nasional dan Daerah. Persoalan lain yang juga mengemuka pada Pilkada 2024 ini, adanya “keterbatasan” calon kepala daerah yang “ditawarkan” kepada masyarakat, tentu hal ini juga menjadi persoalan partai politik pengusung calon kepala daerah karena sejatinya parpol-lah yang bertanggungjawab untuk menawarkan alternatif pilihan calon kepala daerah. Bukankah dalam tataran ide dan norma demokrasi, semakin banyak alternatif pilihan, akan semakin baik demokrasi pilihan masyarakat dapat berjalan.
3. Alasan yuridis, pada prinsipnya hukum itu berkembang ditengah-tengah masyarakat, dengan kata lain; hukum akan mengikuti perkembangan masyarakatnya. Prinsip hukum ini menguatkan asumsi bahwa terdapat ketentuan waktu lalu yang dijadikan landasan yuridis bekerjanya politik, belum tentu bisa mengakomodir perkembangan politik pada waktu berikutnya dan memerlukan perubahan serta penyesuaian hingga lebih bisa mengakomodir kebutuhan masyarakat politik secara ter-up date untuk kebutuhan saat ini. Satu diantaranya pengaturan tentang bahwa Kepala/ Wakil Kepala Daerah petahana (incumbent) dapat kembali menjadi kepala daerah definitif setelah mengikuti masa kampanye dalam pencalonannya meskipun masih ada waktu masa tenang, hari pemungutan suara, dan pasca pemungutan suara yang berisi tahapan pilkada itu sendiri berupa rapat pleno penetapan perhitungan dan perolehan suara, yang pada tahapan tersebut terdapat peluang kepala daerah petahana untuk dapat bertindak tidak netral hingga dapat menguntungkan dan atau merugikan salah satu pihak peserta kontestasi pilkada (unfairness). Terdapat beberapa landasan yuridis pilkada yang merujuk pada UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota beserta semua ketentuan hukum turunannya, termasuk PKPU yang perlu ditinjau. Salah satunya adanya ketentuan yang mengatur periodesasi komisioner KPU yang berakhir dan dapat diperpanjang (seleksi) yang dilaksanakan bersamaan dengan tahapan pilkada, bahkan ada yang terjadi menjelang akhır tahapan pilkada yang justru krusial. Hal ini tentu sangat mempengaruhi kinerja dan produktivitas komisioner KPU yang dapat mengabaikan tugasnya sebagai penyelenggara pilkada, dan berdampak pada kualitas penyelenggaraan pilkada itu sendiri.
Semakin banyak pihak yang peduli dan concern pada perbaikan kualitas politik dan demokrasi melalui pilkada, akan banyak sisi dan segmen lain yang dapat dijadikan sarana evaluasi, dan para pemangku kepentingan harus terbuka untuk juga mendengar dan menjadikan berbagai masukan dan evaluasi ini sebagai sarana untuk memperbaiki kualitas pilkada. Karena kualitas pilkada akan beriringan dengan out put dari pilkada itu sendiri, termasuk didalamnya angka partisipasi pemilih yang mencerminkan legitimasi politik sebuah kontestasi pilkada, yang muaranya menghasilkan kepala daerah yang akan menyelenggarakan pemerintahan daerah yang berkualitas dan mendapatkan legitimasi politik yang kuat dari masyarakatnya.
Teori dari penulis menyebutkan: Mahal atau tidaknya harga dari partisipasi pemilih dilihat dari perspektif politik dan demokrasi akan terukur dari tinggi dan rendahnya angka partisipasi pemilih berbanding lurus dengan jumlah biaya penyelenggaraan sebuah kontestasi pemilu/ pemilukada. *Penulis: Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL).