Oleh : Gunawan Handoko
Provinsi Lampung~FN–News~BEBERAPA hari ini, media di seluruh Tanah Air diramaikan dengan pemberitaan tentang kasus yang menimpa Supriyani, guru honorer SD Negeri 4 Baito Konawe Selatan. Dirinya dituduh telah menganiaya muridnya, anak seorang anggota Polri.
Atas dugaan penganiayaan tersebut, pihak orangtua melaporkan Supriyani ke pihak penegak hukum dan sang guru sempat ditahan, meski kemudian dibebaskan setelah permohonan penangguhan penahanannya dikabulkan oleh Pengadilan Negeri setempat.
Kasus ini bukan sekadar tentang benar dan salah, namun merupakan potret atau cerminan dari permasalahan lebih luas yang dihadapi para pendidik, khususnya tentang keadilan, perlindungan hukum, dan nilai-nilai kemanusiaan. Maka sangat wajar apabila masyarakat luas, terutama para guru dan pendidik, mengungkapkan rasa keprihatinannya terhadap nasib Supriyani.
Hampir semua meyakini, bahwa apa yang dilakukan Supriyani bukan dilandasi kebencian, namun semata-mata dalam rangka untuk mendidik tentang moral dan kepribadian serta budi pekerti. Maka sudah seharusnya kita dapat menjaga dan menghormati marwah pendidik agar dalam menjalankan tugasnya tidak merasa tertekan dan dihantui ketakutan.
Sampai saat ini, kasus Supriyani masih berproses di pengadilan dan kredibilitas aparat penegak hukum sedang diuji dan dipertaruhkan. Masyarakat tentu berharap agar proses hukum dapat berjalan secara adil dan transparan.
Perlu disadari bahwa profesi guru sekaligus sebagai pendidik, butuh ketenangan dalam melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan bangsa yang bermutu. Bangsa disebut bermutu dan maju bukan sekadar ditunjukkan oleh kekayaan alamnya, tetapi juga oleh mutu sumber daya manusianya. Pendidikan, kesehatan, dan kemampuan ekonomi menjadi indikator penting untuk mewujudkannya. Apabila satu dari ketiga aspek tersebut ada yang tertinggal, maka gagal pula cita-cita untuk meraih predikat bangsa yang bermutu. Dan tanggungjawab masalah pendidikan berada di pundak para guru.
Bicara masalah pendidikan, bukanlah semata menekankan pada konteks ‘hasil’, namun lebih kepada sebuah perjalanan luar biasa yang selama ini kita sebut sebagai ‘proses’. Proses yang bernama pembiasaan, proses yang bernama pembelajaran, dan proses yang menyimpulkan pada sebuah tantangan besar.
Perlu disadari, bahwa tujuan pendidikan bukan sekadar cerdas dan pintar, tapi juga berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Apa yang dilakukan Supriyani -dan Supriyani yang lainnya- boleh jadi merupakan sebuah proses pembelajaran terhadap peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan berakhlak mulia serta berbudi pekerti yang luhur. Karena tujuan utama dari pendidikan bukan sekadar cerdas dan pintar. Maka dalam mensikapi guru yang ‘salah’, perlu langkah yang arif dan bijak, yakni menyelesaikannya dalam tingkat internal antara guru, kepala sekolah, dan orangtua siswa serta pihak dinas pendidikan.
Bagi kita yang pernah mengalami hidup pada jaman praglobalisasi informasi, bahkan pada jaman penjajahan sekalipun, dapat menyaksikan betapa posisi dan profesi guru sangat dihormati, berada pada tatanan kaum elit priyayi. Hampir tidak pernah ada orangtua atau wali murid yang melabrak guru hanya karena telah menjewer atau memukul anaknya. Anak pun tidak akan berani mengadu kepada orangtua ketika mendapat hukuman dari guru, karena takut akan terkena marah.
Dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan maupun kenegaraan, para guru selalu ditempatkan pada posisi depan. Kita juga tahu bahwa almarhum Panglima Besar Jenderal Sudirman pun adalah seorang guru. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menghormati dan menghargai guru, karena apa yang ada pada diri kita hari ini berkat perjuangan mereka, para guru.
Sudah saatnya untuk kembali ’belajar’ menghargai guru, seiring dengan upaya yang dilakukan pemerintah dalam memberikan perhatian lebih kepada profesi guru, terutama faktor kesejahteraan.
Biarlah guru menjalankan tugas dengan merdeka, jangan sampai dimanfaatkan sebagai ajang pencitraan untuk kepentingan politik penguasa. Apapun alasannya, politisasi dalam dunia pendidikan harus dihentikan, karena akan menghambat kemajuan pendidikan itu sendiri. *) Penulis : Ketua Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) Provinsi Lampung.
.