‘Metamorfosis’ WANTIMPRES Jadi DPA, PROSES POLITIK MENJADI HUKUM

By Admin
Selasa, 23 Juli 2024 | 61 Views
Array

Oleh: Dr. Wendy Melfa 

 

*TERAGENDA DIANTARA AGENDA

Ditengah hiruk-pikuk agenda demokrasi ketiga pada tahun politik ini, ketika semua dari 514 daerah kabupaten/kota, dan 38 provinsi tengah disibukkan dinamika politik yang eskalasinya sedikit menghangat berkaitan dengan kompetisi meraih dukungan dan rekomendasi parpol parlemen untuk mencukupi persyaratan ketentuan UU Pilkada sebanyak 20% atau lebih dukungan parpol untuk dapat mendaftar/atau didaftarkan pada Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai pasangan calon kepala daerah pada kontestasi pilkada serentak nasional 2024, tersembul ke ruang publik sebuah agenda politik lainnya, berupa keputusan Badan Musyawarah DPR RI yang meloloskan rencana pembahasan perubahan undang-undang Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) untuk “berganti” nomenklaturnya menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). 

Sontak hal ini menjadi “bola liar” yang menjadi perbincangan publik. Tidak sedikit yang bernada sinis, bahkan ada juga yang menaruh curiga agenda tersebut akan dibahas dipenghujung masa periode jabatan Presiden Jokowi dan DPR RI untuk mempersiapkan “wadah” bagi-bagi kekuasaan. Ada lagi yang menduga sebagai “dermaga baru” bagi Jokowi pasca tidak lagu menjabat Presiden RI Terlebih hak usul inisiatif DPR RI itu muncul diluar agenda Prolegnas (program legislasi nasional) yang tersusun sebelumnya. 

Bahkan sampai ada pertanyaan: apa urgensinya perubahan UU Wantimpres tersebut secara langsung bagi tujuan bernegara, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, kecuali hanya untuk kebutuhan elitis kekuasaan saja. Kita akan dapatkan “klarifikasi” jawaban dari para pelaku politik pada saat pembahasan dan pengesahan rencana perubahan UU tersebut sejak dibuka masa sidang DPR RI pada 16 Agustus nanti.

*COUNCIL OF STATE, SEBUAH PERTIMBANGAN

Guna memberikan masukan dan pertimbangan secara kelembagaan terhadap Presiden didalam menyelenggarakan pemerintahan, melalui Pasal 16 UUD 1945 dicatat sebagai landasan dan fungsi kehadiran lembaga tinggi negara Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Seiring dengan perubahan sistem Pemerintahan Indonesia menjadi sistem parlementer, keberadaan DPA menjadi tidak berarti dan berfungsi. 

Kemudian berdasarkan amandemen UUD 1945, dengan alasan tidak jelas fungsinya, tidak efisien, dan menjadi tidak berarti, lembaga DPA dihapuskan melalui Keputusan Presiden Nomor: 135/M/2003 tanggal 31 Juli 2003. Pasca amandemen UUD 1945, melalui UU 19/2006 dengan didasari pada posisi suatu dewan yang memiliki tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden tetap diperlukan, dibentuklah lembaga yang disebut Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Namun bukan dimaknai sebagai sebuah dewan pertimbangan yang sejajar dengan Presiden atau lembaga negara lainnya sebagaimana sebuah dewan pertimbangan yang sejajar dengan Presiden atau lembaga negara lainnya, seperti DPA ketika masa sebelum amandemen UUD 1945, tetapi menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah negara yang berada dibawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. 

Sebagaimana tertuang dalam UU 19/2006, Wantimpres memiliki tugas memberikan pertimbangan dan nasihat dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUD 1945 sebelum amandemen.

 Meskipun secara substansi tidak berbeda dalam menjalankan fungsi antara Wantimpres dengan DPA, namun secara penamaan kelembagaan, nama DPA tidak tercantum lagi didalam UUD 1945 (amandemen). Lantas, sesuatu penamaan lembaga yang pernah ada kemudian dihapuskan melalui amandemen konstitusi meskipun berganti nama namun tetap menjalankan fungsi dan tugasnya yang sama, dapat dikategorikan sesuatu yang in-konstitusional? Bukan pada nama lembaga arti pentingnya, tetapi lebih kepada substansi tugas dan fungsi serta status kelembagaannya, apakah dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara (sebelum amandemen), atau ada pada bagian dibawah kekuasaan Presiden (setelah amandemen) sebagai penegasan kekuasaan Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dengan sistem pemerintahan presidensial.

Publik kurang atau bahkan tidak dapat mengakses apakah tugas dan fungsi Wantimpres selama ini yang menggantikan lembaga DPA sudah berjalan efektif atau belum, dikarenakan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Wantimpres menurut UU 19/2006 tidak diperkenankan menyampaikan kepada siapapun berupa keterangan, pernyataan, dan atau menyebarluaskan isi nasihat tentang pertimbangan atau nasihat kepada Presiden dalam menjalankan tugas kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara kepada pihak manapun. Dengan demikian, publik sama sekali tidak dapat akses apakah kehadiran lembaga Wantimpres ini berjalan efektif sesuai dengan tujuan dibentuknya lembaga tersebut atau belum. Hanya Presiden dan Wantimpres itu sendiri yang tahu. Padahal, kehadiran lembaga Wantimpres itu diselanggarakan dengan menggunakan sumber anggaran dari APBN, yang merupakan uang rakyat.

 Ketimbang memperdebatkan nama dari sebuah lembaga dari wacana perubahan nomenklatur dari Wantimpres menjadi DPA dipenghujung periode jabatan Presiden dan DPR RI yang sebentar lagi ini, ada baiknya publik lebih memperhatikan tentang apakah lembaga tersebut dengan tugas dan fungsinya dapat berjalan efektif atau tidak. Bila dapat diklarifikasi bahwa fungsinya telah dan akan efektif dalam upaya penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan, maka fungsi dan tugas pertimbangan itu perlu untuk dilanjutkan dan dikuatkan. Namun bila hanya “memfetamorfosiskan” perubahan nama dan keanggotaannya saja, tetapi abai dengan efektifitas tugas dan fungsinya, maka perubahan nama itu tidak memberi dampak apapun bagi penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan Presiden yang berimplikasi pada rakyatnya. Maka upaya itu hanya menambah beban keuangan negara, dan perlu untuk kita dorong diabaikan (tidak diteruskan) saja.

Dalam perspektif hubungan hukum dan politik, bahwa agenda “metamorfosis” nama lembaga yang menjalankan fungsi nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya yang seolah tiba-tiba muncul pada agenda pembahasan masa sidang DPR RI sebagai hak usul inisiatif perubahan UU diakhir masa jabatannya ini, secara teori hukum dapat dipahami sebagai politik determinan atas hukum, bahwa proses-proses politik di DPR RI (sebagai lembaga yang berwenang menerbitkan UU) dapat mempengaruhi arah dan pengendali hukum dalam rangka mencapai tujuan negara. Hal ini merupakan wujud praktik apa yang kerap kita dengar bahwa hukum merupakan resultante dari proses politik. 

Supaya proses politiknya tidak ugal-ugalan untuk menghasilkan hukum (undang-undang) yang tidak dilahirkan dari sebuah proses politik ugal-ugalan, maka perlu diikat dengan sebuah kesadaran, bahwa proses dan tujuan itu semua untuk kepentingan mencapai tujuan negara, yaitu menurut Pembukaan UUD 1945 menciptakan negara berkesejahteraan. *Penulis: Peneliti pada Ruang Demokrasi (RuDem)

 

Array

Berita Terkait

Tutup
Tutup