Pilkada Terkesan Formalitas Belaka  (Menyusutnya Ruang Demokrasi dalam Kontestasi Politik Lokal)

By Admin
Selasa, 13 Agustus 2024 | 67 Views
Array

Oleh : Irwansyah Ahmat Saputra

Provinsi Lampung~FNNews|Berdasarkan UU Nomor: 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, pilkada serentak dilaksanakan pada 27 November 2024. Hal itu kembali diperkuat dalam Putusan MK Nomor: 12/PUU-XXII/2024, dimana sebelumnya beberapa pihak dalam legal standingnya mengajukan gugatan terkait pelaksanaan pilkada serentak.

Merujuk pada hal itu, sebentar lagi akan terdengar sorak-sorai demokrasi dalam pelaksanaan pilkada serentak. Provinsi Lampung merupakan salah satu dari sekian daerah yang memiliki hajat demokrasi lokal berupa pilkada serentak.

Selanjutnya, berdasarkan Keputusan KPU Provinsi Lampung Nomor: 68 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung Tahun 2024, pendaftaran pasangan calon dimulai pada tanggal 27 Agustus hingga 29 Agustus 2024.

Namun kendati demikian, hingga saat ini baru terdapat beberapa sosok yang memiliki kemungkinan untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Dikatakan demikian, sebab seperti yang diketahui, untuk dapat mendaftar atau mendaftarkan pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah harus memenuhi syarat ambang batas berupa dukungan partai dengan memiliki 20% minimal kursi DPRD atau memperoleh suara sah sebesar 25% pada pemilihan anggota DPRD sebelumnya.

*Pikada Sebagai Implementasi Demokrasi

Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan dan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam demokrasi, rakyat memiliki hak dan kebebasan untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka, terutama melalui mekanisme pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil yang akan menjalankan pemerintahan atas nama mereka.

Joseph Schumpeter yang tertuang dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy (1942), mendeskripsikan demokrasi sebagai tatanan institusional, sebuah mekanisme dalam politik untuk mengisi jabatan politik melalui kompetisi dalam merebut dukungan rakyat. Dalam arti lain, bahwa rakyat memiliki peluang untuk menerima atau menolak orang-orang yang mencalonkan diri untuk memimpin mereka.

Secara lebih luas, Dahl (1999) berpendapat, bahwa demokrasi haruslah dilihat sebagai proses politik yang membuka peluang bagi partisipasi politik rakyat untuk secara efektif melakukan pengawasan terhadap agenda dan keputusan politik. Pendapat serupa juga dikemukakan Holden ( 1978:5), di dalam demokrasi, rakyat diberikan hak membuat keputusan (dalam bentuk kebijakan publik) menyangkut masalah-masalah penting.

Pilkada merupakan manifestasi dari demokrasi, di mana setiap warga negara memiliki kesempatan untuk menentukan pemimpin yang akan mengarahkan daerahnya ke masa depan yang lebih baik. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, demokrasi menjadi landasan utama dalam menjalankan roda pemerintahan. Ini berarti, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, dan partisipasi mereka dalam proses politik, termasuk dalam pilkada, yang dengan adanya agenda pilkada ini rakyat dapat berpartisipasi dalam menentukan arah gerak wilayah yang dihuninya, dengan memberikan hak suara kepada calon yang ia kehendaki, dimana sebelumnya telah dinilai secara objektif oleh rakyat itu sendiri, sehingga hal ini sangatlah krusial dalam suatu sistem demokrasi.

*Situasi Provinsi Lampung dalam Menghadapi Pilkada Serentak.

Dalam wilayah provinsi dan kabupaten/kota, pilkada merupakan suatu gelanggang besar untuk menentukan siapa yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan dalam suatu daerah. Seyogyanya, sebagai arena kompetisi paling puncak dalam suatu wilayah, rakyat haruslah disuguhi dengan beragam pilihan calon kepala daerah untuk ditunjuk oleh rakyat itu sendiri, dengan melakukan penilaian yang objektif melalui gagasan, ide serta inovasi yang ditawarkan oleh para calon untuk tujuan kemaslahatan umat dan keberlangsungan bangsa.

Dalam sistem demokrasi, partisipasi rakyat adalah elemen kunci, termasuk dalam memilih pemimpin daerah melalui pemilihan kepala daerah (pilkada). Namun, di tengah proses pilkada yang semestinya menjadi ajang partisipasi politik yang bebas dan kompetitif, muncul kekhawatiran bahwa pilkada kini hanya menjadi formalitas belaka.

Salah satu indikator yang memunculkan kekhawatiran ini adalah belum adanya partai politik yang secara tegas menentukan sikap dalam mengusung calon kepala daerah. Padahal sesuai dengan Keputusan KPU Provinsi Lampung, waktu pendaftaran calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah semakin dekat, yaitu tanggal 27 Agustus hingga 29 Agustus 2024.

Selanjutnya, Pasal 40 UU Nomor: 10 Tahun 2016 mengatur bahwa partai atau gabungan partai harus memiliki minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah dalam pemilihan anggota DPRD untuk mengusung calon kepala daerah. Namun, dalam kenyataannya, beberapa individu yang ingin maju dalam kontestasi pilkada masih belum memiliki cukup atau bahkan masih belum memiliki perahu untuk berlayar di hajat demokrasi tingkat daerah.

Sehingga wajar, bila kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa di sejumlah daerah di Provinsi Lampung, pilkada akan berlangsung dengan hanya satu pasangan calon yang maju. Hal ini mereduksi makna demokrasi, di mana pilkada seharusnya menjadi arena kompetisi ide, program, dan visi misi. Ketika hanya ada satu calon, esensi dari pemilihan itu sendiri hilang, dan pilkada berubah menjadi ritual administratif yang sekadar memenuhi prosedur tanpa memberikan pilihan nyata kepada rakyat.

Kenyataan bahwa beberapa partai politik masih belum menentukan calon yang akan mereka usung, menunjukkan adanya permasalahan mendasar dalam sistem politik di Indonesia. Partai politik yang seyogyanya menjadi pilar demokrasi justru tampak ragu-ragu atau bahkan tidak siap dalam menghadapi pilkada. Ini seperti mengisyaratkan bahwa beberapa partai politik mungkin lebih mementingkan kepentingan jangka pendek daripada memperkuat demokrasi di tingkat lokal. Ketika partai tidak serius dalam menyiapkan calon yang kompeten, maka pilkada kehilangan esensinya sebagai ajang demokrasi yang sesungguhnya.

Penulis tidak dapat memahami mengapa hal ini dapat terjadi? Apakah hal ini karena beberapa partai politik masih selektif dalam menentukan sikap dengan menilai secara objektif kader-kadernya yang layak untuk diusung, atau jangan-jangan belum ada deal-deal-an yang pas untuk para elit politik? Atau jangan-jangan para partai politik masih menunggu siapa yang sanggup mengeluarkan cost politik besar sebagai ketahanan kampanye? Penulis tidak mengetahui dengan pasti jawabannya, juga merasa tidak memiliki kapasitas untuk menjawab hal itu sedemikian rincinya.

*Kotak Kosong: Tanggung Jawab Partai Politik

Berdasarkan tafsir Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Indonesia merupakan negara demokrasi. Negara demokrasi merupakan negara yang dalam sistem pemerintahannya menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sebuah negara demokrasi biasanya dihuni oleh banyak partai atau multi partai, hal tersebut merupakan suatu upaya mewujudkan demokrasi dengan cara memberi keleluasaan rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan masa depan wilayah yang dihuninya.

Di Indonesia, mengenai partai politik sendiri diatur dalam UU Nomor: 2 Tahun 2011 yang mana dalam Pasal 1 UU tersebut menyatakan “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dalam UU tersebut dijelaskan pula fungsi dari partai politik.

Adapun fungsi partai politik di dalam UU terkait ialah sebagai berikut;

1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

3. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

4. Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

5. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Tak kalah penting, pasal 13 UU yang sama juga mengamanatkan beberapa kewajiban kepada partai politik yang harus dijalankan, yang salah satu kewajibannya ialah menjunjung tinggi demokrasi.

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan momentum penting dalam demokrasi Indonesia, di mana rakyat diberi kesempatan untuk memilih pemimpin yang akan memegang tampuk kekuasaan di daerah mereka. Perlu ditegaskan bahwa pilkada bukan sekadar suatu pelaksanaan demokrasi semata, yang hanya dijalankan sebagai bentuk pemenuhan administratif atau formalitas belaka. Pilkada haruslah dilaksanakan dengan asas-asas demokrasi yang nyata, dengan menyuguhkan banyak pilihan calon pemimpin daerah kepada rakyat.

Fenomena “kotak kosong” dalam pilkada merupakan suatu hal yang mengerikan, dimana jika hal ini benar benar terjadi, maka merupakan salah satu indikasi serius bahwa demokrasi di Indonesia sedang mengalami masalah. Kotak kosong muncul ketika hanya ada satu pasangan calon yang maju dalam pilkada, sehingga rakyat tidak memiliki pilihan lain selain memilih pasangan tersebut atau memilih kotak kosong. Meskipun secara formalitas demokrasi tetap berjalan, namun esensi dari demokrasi itu sendiri, yaitu memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih pemimpin dari berbagai alternatif yang tersedia, menjadi hilang. Ini menunjukkan bahwa partai politik gagal menjalankan tanggung jawab mereka untuk menyediakan calon-calon yang berkualitas dan beragam bagi rakyat.

Tanggung jawab partai politik dalam pilkada adalah menyediakan alternatif calon yang kompeten dan memiliki visi yang jelas untuk memajukan daerah. Namun, ketika kotak kosong muncul, hal ini menunjukkan bahwa partai politik tidak menjalankan peran mereka dengan baik. Partai politik seharusnya menjadi mesin demokrasi yang memastikan adanya pilihan yang beragam bagi rakyat. Namun, ketika hanya ada satu calon yang maju, maka partai politik telah gagal dalam menjalankan fungsi mereka sebagai pilar demokrasi. 

Selain itu, munculnya kotak kosong juga menunjukkan adanya masalah dalam proses seleksi calon diinternal partai politik. Partai politik seharusnya memiliki mekanisme yang transparan dan objektif dalam menyeleksi calon-calon yang akan mereka usung dalam pilkada. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa proses ini sering kali tidak berjalan dengan baik, sehingga hanya ada satu calon yang diusung, sementara calon-calon potensial lainnya tidak mendapatkan kesempatan untuk maju. Ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem kaderisasi diinternal partai politik, yang pada akhirnya merugikan rakyat sebagai pemilih.

Kotak kosong juga menunjukkan adanya dominasi elit politik dalam proses pilkada. Calon-calon yang diusung oleh partai politik seringkali adalah mereka yang memiliki koneksi kuat dengan elit politik, sementara calon-calon independen atau dari kalangan non-elit, tidak mendapatkan dukungan yang memadai. Akibatnya, rakyat tidak memiliki pilihan yang beragam, melainkan hanya dihadapkan pada pilihan yang terbatas. Ini tentu saja merusak esensi demokrasi, di mana rakyat seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih pemimpin yang terbaik dari berbagai alternatif yang tersedia.

Munculnya kotak kosong juga menandakan adanya masalah dalam sistem politik di Indonesia secara keseluruhan. Ketika partai politik tidak mampu menyediakan calon-calon yang beragam dan kompeten, maka demokrasi di Indonesia sedang menghadapi krisis. Rakyat tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih, dan pilkada hanya menjadi formalitas belaka. Ini adalah ancaman serius bagi keberlanjutan sistem demokrasi di Indonesia, karena rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan pada partai politik dan sistem politik yang seharusnya mereka junjung tinggi. *Penulis: Kepala Dinas Kajian dan Aksi Strategi (Kastrat) BEM FH Unila.

Array

Berita Terkait

Tutup
Tutup