Oleh : Gunawan Handoko
Provinsi Lampung~FN–News~Belakangan ini, setiap hari Minggu pagi kawasan Universitas Lampung (Unila) berubah menjadi ruang publik atau public space. Ratusan bahkan ribuan orang mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa, menyerbu kampus hijau ini dengan tujuan utama untuk berolahraga mengelilingi embung dan lapangan yang luas, sekaligus menghibur anak dan cucu untuk bercengkerama dengan puluhan ekor rusa.
Sebelum masuk área kampus, di sepanjang Jalan Sumantri Brodjonegoro para pengunjung disambut oleh puluhan pedagang yang menjajakan aneka ragam jenis makanan. Tidak ada pungutan apapun, semua gratis. Sambil melepas lelah setelah mengelilingi embung yang cukup luas, saya jadi teringat keberadaan Gedung Olahraga (GOR) Saburai Bandar Lampung. Kita semua tahu dan merasakan, sejak puluhan tahun lamanya di lokasi tersebut memang sudah menjadi ruang publik, walaupun belum ada pihak yang melegalkan. Berbagai even kegiatan, apapun judulnya dipastikan banyak pengunjung. Di hari-hari biasa, kawasan GOR Saburai menjadi ajang para remaja untuk sekadar nongkrong sambil menikmati tontonan atau atraksi kecil.
Disana juga ada pasar seni dan banyak seniman daerah yang berkarya untuk mengekspresikan bakatnya, bahkan di kawasan tersebut sempat dibangun Taman Gajah atau Elephant Park, walaupun tidak berlanjut. Di setiap Minggu pagi, entah siapa yang mengawali, masyarakat Kota Bandar Lampung berkumpul untuk berolahraga dan senam pagi, sama dengan yang ada di kampus Unila sekarang ini.
GOR Saburai telah terlanjur menabur seribu cinta dan kenangan bagi masyarakat di bumi Lampung ini. Nama GOR Saburai akan tetap abadi walaupun fisiknya telah musnah dan berubah menjadi bangunan masjid (raya). Masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya bisa meratapi atas hilangnya GOR Saburai yang puluhan tahun telah menjadi ruang publik sekaligus ruang terbuka hijau (RTH).
Sejak itu tidak pernah ada yang mengira, sekalipun sebatas bermimpi bahwa kawasan kampus Unila akan menjadi ruang publik baru. Boleh jadi kebijakan mulia Rektor dan petinggi Unila ini dilandasi rasa prihatin (baca : kasihan) kepada masyarakat Kota Bandar Lampung khususnya yang tidak memiliki tempat lagi untuk sekadar berolahraga sekaligus berinteraksi sesama warga dari berbagai strata sosial. Kebijakan Rektor Unila telah menjawab salah satu kesulitan yang dihadapi Pemerintah Kota Bandar Lampung saat ini, yakni mewujudkan RTH dalam luasan yang cukup dan memadai sekaligus dapat menjadi fasilitas publik.
Di ruang publik ini, semua orang dapat menemukan kesetaraan tanpa batas, miskin atau kaya, pejabat atau rakyat jelata, profesor maupun tukang becak. Di ruang publik semua menjadi sama. Jika sebuah kota mampu memberikan kenyamanan hidup kepada anak anak, remaja dan orang dewasa serta lanjut usia, berarti kota itu mampu memberikan kenyamanan kepada siapapun juga.
Terkadang muncul rasa iri dengan kota lain, sebut saja Jogjakarta misalnya. Betapa mudahnya masyarakat lokal maupun pendatang untuk mendapatkan ruang publik disana. Membandingkan Bandar Lampung dengan Jogjakarta tentu tidak bijaksana dan cenderung jauh dari memberikan solusi bagi Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam mengambil kebijakan untuk menyediakan ruang publik yang dibutuhkan warganya.
Membangun kota, tentu tidak melulu hanya untuk mengatasi kemacetan lalulintas dan menunjang bisnis, tetapi juga untuk seluruh warga penghuni kota. Keberadaan sebuah ruang publik bukanlah hal yang sepele dan memang tidak bisa disepelekan. Fitrah semua manusia tentu mendambakan sebuah kehidupan yang lebih baik. Tidak hanya sekadar dapat hidup layak secara ekonomi, namun juga mendambakan kehidupan yang terdiri dari manusia-manusia sehat secara psikologis. Yaitu manusia yang saling peduli, saling berempati, berprestasi, dan saling bahu membahu membangun peradaban yang lebih baik ditengah ritme kehidupan kota yang semakin rentan untuk memicu stress dan berbagai penyakit fisik maupun mental lainnya.
Selagi masalah kota ini hanya kita serahkan mentah-mentah pada pemerintah daerah dan para pemilik modal atau investor, maka jangan menyesal bila kita tidak akan bertemu lagi dengan ruang publik dan fungsi sosial yang lain. Yang terjadi kemudian, kehidupan masyarakat kota hanya beredar dari satu shopping mall ke shopping centre yang lain sambil menikmati public space buatan. Itupun hanya bisa dilakukan oleh warga yang memiliki kemampuan finansial. Bagaimana dengan warga yang kehidupannya hanya pas-pasan dan kurang beruntung? Adalah hak setiap warga negara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan kewajiban warga pula untuk peduli dan terus melibatkan diri dalam perkembangan kotanya agar diperlakukan secara adil dan manusiawi. Ingat bahwa kota ini milik kita, maka mari kita penuhi kewajiban ini. Atau merasa cukup dengan menjadi generasi penikmat dari kesenangan yang semu? *) Penulis: Pemerhati Masalah Sosial dan Permukiman, Tinggal di Bandar Lampung.