Demokrasi Pilkada: Antara Nyata & Cita

By Admin
Kamis, 19 Desember 2024 | 6 Views
Array

Oleh : Dr. Wendy Melfa

Provinsi lampung ~FNNews~ *Perbandingan: Aple to AplePerbandingan (komparatif) adalah salah satu cara (ilmu pengatahuan) yang kerap digunakan untuk mendapatkan wawasan dalam mengenal perbedaan dan kesamaan antara fenomena (variable). Ada beberapa pilihan yang dapat digunakan; perbandingan waktu, perbandingan fenomena/keadaan/situasi, perbandingan sistem/konsep, pun perbandingan tempat. Penggunaan perbandingan itu dapat digunakan satu diantaranya, atau juga dapat menggabungkan dua atau lebih pilihan cara memperbandingkan.

Memperbandingkan dua hal atau lebih untuk mencari unsur kesamaan dan juga perbedaan, tentunya dilakukan terhadap fenomena (variable) yang sama (aple to aple), tetapi perbandingannya diukur dari waktunya, tempatnya, sistemnya, dan atau fenomenanya. Jika terhadap hal yang tidak sama, maka bukanlah perbandingan disebutnya.

Seiring menghangatnya evaluasi terhadap sistem pilkada, hadirnya dialektika berbagai pandangan dan pendapat adalah sebuah fenomena yang dibutuhkan dalam pematangan demokrasi untuk mendapatkan “titik temu” yang akan mendekatkan pada pilihan sistem apa yang akan diberlakukan pada pilkada kita kedepan. Pematangan demokrasi itu sendiri –sebaiknya- melibatkan pikiran, pendapat, pengalaman, konsep, teori, temuan, dan lainnya dari semua stakeholder hingga dari dialektika tersebut menghasilkan “kompromi”-nya pemikiran tersebut.

Yang akan disandarkan pada sistem pilkada yang akan kita berlakukan pada pilkada berikutnya, yang tentu kita semua berharap dapat menguatkan sistem politik dan demokrasi Indonesia. Dan tidak hanya berhenti disitu, tetapi yang bermuara terwujudnya tujuan Negara Indonesia.

Akurasi dan proporsionalitas situasi/keadaan pada saat berlakunya sebuah kebijakan yang sama tetapi pada era yang berbeda, akan sangat menentukan saat memperbandingkan hingga menghasilkan data yang relatif mendekati hasil perbandingan. Visualisasi dari hal tersebut akan unfairness manakala kita memperbandingkan penerapan sistem demokrasi pilkada melalui demokrasi perwakilan di era jalannya kekuasaan politik masih terbelenggu dengan hegemoni kekuasaan yang cenderung otoriter.

Dengan misalnya, apabila kebijakan tersebut diberlakukan pada era penyelengaraan politik yang demokratis dimana prinsip-prinsip kebebasan dan keterbukaan berpendapat sudah mendapatkan tempat yang dijamin hukum, pers yang semakin terbuka, kekuatan demokrasi lainnya seperti kelas menengah dan terdidik semakin menunjukkan kepedulian dan kehadirannya serta situasi lainnya yang menjadikan “iklim” keduanya hadir secara berbeda dihadapan publik. Tentu ini bukankah situasi yang proporsional menempatkan perbandingan secara aple to aple yang dimaksudkan.

Visi keberpihakan anggota DPRD pada rakyat, baik secara personal maupun secara institusional, kehadirannya pada ruang-ruang publik juga nampak berbeda antara era otoriter dengan era demokrasi seperti sekarang ini. Kita jarang, bahkan hampir tidak pernah menyaksikan, visualisasi anggota DPRD pada ruang publik atau pada persidangan DPRD yang mengedepankan kepentingan rakyat dalam menjalankan fungsi mereka sebagai anggota DPRD,.

Namun pada era demokrasi seperti sekarang ini, meskipun belum seluruh anggota DPRD, tetapi sudah terbilang banyak dan menjadi pemandangan yang tidak aneh ketika anggota DPRD hadir di ruang publik atau pada saat persidangan DPRD dengan lugas bicara memperjuangkan kepentingan rakyat, memperjuangkan harga singkong ketika panen singkong rakyat misalnya, atau memperjuangkan kepentingan pengangkatan tenaga honor daerah, memperjuangkan aspirasi pembangunan fisik kebutuhan publik, kesehatan, pendidikan, isu lingkungan, ikut memperjuangkan aspirasi mahasiswa dalam unjuk rasa mahasiswa, dan banyak lagi contoh lainnya yang memvisualisasikan karakter dan keadaan yang berbeda. Anggota dan Lembaga DPRD yang berbeda dalam menjalankan tugas dan fungsinya antara DPRD era otoriter dengan DPRD era demokrasi.

Oleh karena itu, kejujuran kita dalam memperbandingkan keadaan DPRD “doeloe dan now” juga harus dihadirkan manakala memperbandingan ketika akan memberlakukan sebuah kebijakan sistem pilkada dengan demokrasi perwakilan misalnya, disamping faktor-faktor pendukung berjalannya demokrasi lainnya, seperti penegakan hukum, pers yang semakin terbuka, hadirnya kelas menengah dan terdidik serta lainnya yang juga bisa ikut “hadir” mengikuti berjalannya demokrasi dan sistem politik kita.

*Das Sein dan Das Sollen

Evaluasi secara holistik atas penyelengaraan pilkada menjadi kebutuhan bagi bangsa untuk bisa memahami akankah dibutuhkannya perbaikan sistem pilkada antara apa yang diharapkan seharusnya terwujud (das sollen) dengan apa yang sesungguhnya terjadi sebagai realitas politik (das sein), termasuk ekses yang ditimbulkannya, hingga kita bisa menyimpulkan sudah cocokkah sistem pilkada yang kita terapkan, sudah benarkah sistem demokrasi yang kita çıta-citakan.

Pematangan sistem politik dan demokrasi sebagaimana kita harapkan, tentu membutuhkan “jam terbang” demokrasi. Yang tentunya didapatkan dari penerapan demokrasi itu sendiri, karena pertumbuhan sistem politik dan demokrasi tidak akan adaptif mengikuti kebutuhan dan perkembangan masyarakatnya, tidak ada yang sekali jadi dalam pertumbuhannya tanpa adanya evaluasi dan perbaikan mengikuti perkembangan masyarakatnya.

Bangsa ini melakukan empat kali amandemen UUD 1945 karena pengelolaan negara dinilai terkooptasi kekuasan penguasa, tidak bebas KKN, tidak memenuhi kebutuhan rakyat (nyata/das sein), Konstitusi kita harus menyesuaikan dengan kebutuhan rakyat dalam bernegara, mengedepankan kepentingan rakyat, prinsip check and balances pengelolaan pemerintahan (seharusnya/das sollen). Kita juga pernah merubah sistem demokrasi pilkada dari perwakilan menjadi langsung, untuk menghilangkan praktik-praktik money politic di DPRD (seharusnya/das sollen), tetapi justru perkembangan sistem politik demokrasi langsung menghadirkan sikap pragmatisme masyarakat pemilih yang cenderung merusak moral bangsa dan cost politic yang sangat mahal (nyata/das sein), sementara partisipasi pemilih cenderung menurun (data Pilkada Lampung 2024, partisipasi pemilih hanya 65,39 %).

Diharapkan pilkada dengan sistem demokrasi langsung dapat menghadirkan alternatif pilihan calon bagi masyarakat, sehingga semakin banyak calon semakin baik demokrasinya (seharusnya/das sollen). Namun sebagaimana kita sımak data baik secara nasional maupun yang terdapat di Lampung, cenderung hanya memunculkan sedikit calon kepala daerah yang mengikuti kontestasi pilkada (nyata/das sein), dan masih banyak lainnya yang mendorong kita untuk berbenah dan memperbaiki sistem poltik dan demokrasi kita.

Menampilkan secara apa adanya antara apa yang “nyata” dan apa yang diharapkan menjadi “cıta” dari sistem politik dan demokrasi, tentu akan sangat besar manfaatnya bagi berkembangnya sistem politik dan demokrasi itu sendiri. Kita harus mengajak bangsa ini untuk “move on” membawanya serta beradaptasi mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat, karena disitulah sejatinya manfaat dan tujuan dari berdemokrasi itu sendiri.

Demokrasi adalah instrumen, demokrasi bukanlah tujuan, ada baiknya untuk tidak bertahan pada satu prinsip tanpa mempertimbangkan prinsip lainnya, apalagi jika kemudian hal itu justru tidak menguntungkan dan berguna untuk rakyat. Perbaikan sistem politik da demokrasi tidak berhenti hanya pada sistem demokrasi yang kita terapkan pada pilkada, tetapi juga harus “menyasar” perbaikan sistem politik dan cara berdemokrasi lainnya yang bermuara pada kebaikan, kemanfaatan, dan kesejahteraan rakyatnya. *Penulis: Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL).

Array

Berita Terkait

Tutup
Tutup