Oleh : Dr. Wendy Melfa
Provinsi lampung~ FN–News~ Dari Hambalang untuk Perubahan Pilkada Seakan ingin mempertahankan julukan sebagai partai yang mempelopori ide, gagasan, karya, dan perubahan, Partai Golkar melalui pidato sambutan Ketua Umumnya, Bahlil Lahadalia, pada peringatan 60 Tahun usia Partai Golkar, dengan cerdik dilontarkan perlunya untuk dilakukan evaluasi yang mendalam atas pelaksanaan pilkada langsung serentak yang pada beberapa sisi justru menghadirkan persoalan; pilkada dengan cost yang tinggi, pilkada rasa pilkades, dan akhirnya muncul pertanyaan: “apakah demokrasi seperti ini yang kita inginkan?”
Partai Golkar menginisiasi untuk memulai dialektika pada tataran parpol dan suprastruktur politik untuk mencari formula yang tepat guna membangun sistem politik yang kuat, dengan menempatkan demokrasi sebagai instrumen mencapai tujuan negara sebagaimana tertuang pada Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
*Bukan Kali Pertama
Seperti “gayung bersambut” demikian pepatah lama menyebutkan, pidato sambutan Ketum Partai Golkar tersebut mendapatkan respon positif dan dukungan dari Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato sambutannya. Presiden Prabowo pun menyambut hangat dan turut mengiyakan, bahwa pelaksanaan pilkada langsung patut dievaluasi untuk dicarikan solusi terbaik dalam kerangka menguatkan sistem politik dan demokrasi Indonesia yang tidak hight cost, yang efisien seperti negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, dan lainnya. Bahkan sambil berseloroh, memahami konfigurasi kekuatan peta politik, dengan hadirnya para Ketua Umum Parpol di Hambalang, saat itu langsung dapat diputuskan perubahan sistem pilkada langsung menjadi pilkada dipilih melalui DPRD.
Gagasan dan evaluasi untuk mengganti sistem pilkada langsung menjadi dipilih DPRD bukan kali pertama digulirkan. Sejak diberlakukannya pilkada langsung tahun 2005 (berdasarkan UU 32/2004) dan perjalanan pilkada langsung pernah mengalami evaluasi bahkan sampai menghasilkan “kesepakatan politik” parpol hingga melahirkan Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Akan tetapi, undang-undang tersebut mendapat penolakan yang luas oleh publik. Atas penolakan tersebut, maka SBY menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Selanjutnya pada tanggal 2 Oktober 2014 atas persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah, disahkan Undang-undang Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang didalamnya mengatur pilkada tetap secara langsung.
Belajar dari pengalaman situasi tersebut, dialektika yang diinisiasi Golkar tentu membutuhkan ruang dan usaha yang tidak ringan. Tidak tertutup kemungkinan, tawaran dialektika penguatan sistem politik ini akan mendapatkan tentangan dari mereka yang merasa “nyaman” dan mendapatkan “keuntungan” dari sistem politik yang sedang berjalan seperti saat ini. Oleh karena itu, bukan saja dialog dan kerja sama politik ditingkat parpol dan supra struktur politik yang harus dibangun, tetapi juga komunikasi dan kompromi pada segmen ruang publik yang lebih luas dengan mengedepankan evaluasi secara keseluruhan serta “melibatkan” stakeholder dan akademisi untuk membangun sistem politik dan demokrasi yang lebih baik guna mewujudkan tujuan Negara Indonesia sesuai dengan falsafah dan ideologi Pancasila.
*Penguatan Politik untuk Demokrasi Lebih Baik
Dialektika yang ditawarkan oleh Golkar untuk perbaikan sistem pilkada dengan wacana perubahan dari demokrasi langsung menjadi demokrasi perwakilan dengan dipilih oleh DPRD, sesungguhnya adalah sebuah tawaran membuka pintu masuk untuk penguatan sistem politik dan demokrasi yang lebih luas lagi dari sekadar hanya perbaikan sistem pilkada.
Berbicara perbaikan sistem politik pilkada, sesungguhnya terkait pula dengan konsep, pengelolaan, dan sistem apa yang diterapkan dan bisa kita cermati pada UU Pemilu, UU Partai Politik, UU MPR, DPR, dan DPD (MD2), UU Pemerintah Daerah, UU Pemerintahan Desa, serta UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (UU paket politik).
Evaluasi dan perbaikan secara parsial atas keseluruhan dari UU paket politik tentu saja bukanlah jawaban atas formula yang dibutuhkan untuk penguatan politik kita. Dibutuhkan satu kesatuan semangat perbaikan yang terintegralistik dari sisi waktu, pemikiran, nafas, kepentingan, bahkan sampai tingkat teknis sekalipun dengan menghadirkan semangat yang sama; memperbaiki sistem politik dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders), infra dan supra struktur politik untuk pembangunan demokrasi Indonesia yang lebih baik.
Penguatan politik secara menyeluruh adalah sebuah tawaran gagasan perbaikan sistem politik secara holistik (menyeluruh) untuk perbaikan demokrasi Indonesia termasuk tentang partai politik itu sendiri (self empowering) melalui pintu masuknya perbaikan sistem pilkada. Keberanian Golkar untuk tawaran membuka ruang perbaikan sistem politik, termasuk memperbaiki dirinya sendiri (parpol) adalah sebuah kecerdasan dan keberanian sebagai partai politik dengan menunjukkan eksistensinya sebagai parpol modern yang tidak hanya berfikir kekuasaan dan kemenangan atau perolehan kursi pada saat pemilu, tetapi juga selalu hadir dengan ide, gagasan, dan karya untuk membangun sistem politik dan demokrasi yang lebih baik guna mewujudkan tujuan negara bagi Indonesia. * Penulis: Peneliti pada Ruang Demokrasi (RuDem)